Tuesday, September 4, 2012

Dapatkah PTUN Membatalkan Putusan MK?

Berita ini saya ambil dari Media Online Warta Semesta.
 
Dalam beberapa hari terakhir ini, di Labuan dan Mabar, masyarakat ramai menceritakan Fidelis Pranda (FP) menang atas gugatannya di PTUN Jakarta Timur. FP menggugat Mendagri Gamawan Fauzi terhadap SK pengangkatan Gusti Dula sebagai bupati Mabar 2010-2015. Tidak jelas dari mana sumber cerita tersebut. Tetapi, disebutkan, seluruh pendukung FP senang dan pesta.

Cuma aneh dan uniknya adalah untuk kemenangan itu kepada para pendukung dimintakan uang. Bukan hanya pendukung, tetapi masyarakat biasa yang tidak mengerti apa-apa juga dipalak (dipaksa) untuk mengumpulkan uang. Berikut ini adalah pendapat dari bapak Eddy Danggur, terkait isu-isu yang ada di Mabar akhir-akhir ini.

Pertama, kompetensi absolut utk memeriksa dan memutus sengketa pemilukada hanya ada di MK.Maka lingkungan peradilan lain,termasuk PTUN, tidak mempunyai kompetensi utk memeriksa dan memutus sengketa pemilukada.

Bisa dilihat pernyataan Mendagri Gamawan Fauzi dlm sengketa pemilukada Depok: “Sengketa Pemilukada merupakan urusan MK.Berkaitan dg sengketa pemilukada Depok,Putusan MK menjadi rujukan.Keputusan MK bersifat final dan mengikat”.

Kewenangan MK itu diberikan oleh konstitusi.Maka peraturan hkm di bawahnya tak dpt menilai putusan MK tsb.

Kedua, sifat universal peradilan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, bahwa suatu putusan pengadilan, dlm hal ini MK yang sdh bersifat final dan mengikat, tidak dapat lagi diadili di lingkungan peradilan lain, dalam hal ini PTUN.

Hal ini dapat dimengerti sebab bisa dibayangkan kerumitan hukum jika PTUN masih dibolehkan menilai apalagi membatalkan putusan MK yg sdh berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).

Kalau sampai terjadi ada pihak yang menggugat ke PTUN terhadap Putusan MK, oleh Ketua MK Mahfud MD sbg “suatu kegenitan” saja dr pihak2 penggugat tsb.

Ketiga, putusan MK itu bersifat “erga omnes” artinya dia tidak hanya mengikat pihak2 yg berperkara di MK tetapi juga orang2 atau instansi2 lain di republik ini.

Maka, tidak boleh ada lagi orang yang menggugat putusan MK itu. Sebab dengan penerapan asas “erga omnes” itu maka semua orang di republik ini tunduk pada putusan MK tersebut.

Keempat, Mendagri tdk dapat disalahkan sebab sebelum Mendagri menandatangani SK Gusti dan Maxi, Mendagri terlebih dahulu meminta surat keterangan dari MK apakah putusan pemilukada Mabar 2010 sudah bersifat final dan mengikat. Mendagri sdh mendapat surat keterangan dimaksud dr MK.

Kelima, dalam koordinasi Ketua MK,Ketua MA, Kapolri dan Kejagung di MK tgl 10 Januari 2011, tegas menyatakan bahwa bahwa aparat penegak hukum dan lingkungan peradilan lain tidak boleh menilai putusan MK.

Keenam, MA sendiri sudah mengeluarkan Surat Edaran kepada semua lingkungan peradilan di bawahnya termasuk lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara agar semua keputusan2 yang menyangkut hasil pemilukada tidak dapat lagi digugat di PTUN.

Lalu, bagaimana nasib Putusan PTUN Jakarta tanggal 17 Maret 2011 itu? Saya sendiri belum membaca putusan tsb, tetapi kalaupun benar isinya seperti yang beredar di SMS, pendapat saya sebagai berikut:

(1) Putusan itu belum berkekuatan hukum tetap sehingga tidak dapat dieksekusi. Sebab, masih ada batas waktu sampai dengan tanggal 31 Maret 2011 bagi Mendagri dan Gusti-Maxi untuk mengajukan upaya hukum banding.

(2) Putusan PTUN tersebut di atas, sekalipun suatu saat sudah berkekuatan hukum tetap, akan dikualifikasi sebagai “putusan yang non eksekutabel”, putusan yang tidak dapat dilaksanakan. Sebab putusan PTUN itu terbukti melanggar ketentuan2 hkm sebagaimana diuraikan di atas.

Kita berharap bahwa masyarakat mabar tidak menafsirkan putusan PTUN itu secara manasuka, sesuai selera pribadi, yang sentimentil emosional. Sebaliknya, hrs melihat putusan itu secara rasional hukum.
Dengan begitu, tidak ada proses pembodohan berlanjut di tengah masyarakat

0 komentar:

Post a Comment