Monday, July 9, 2012

Pendidikan di NTT Kapan Berubah?

MENYIMAK berita di Kompas, Jumat 25 Mei 2012 halaman 12: “Banyak Siswa Tidak Lulus Bahasa Indonesia,  Jumlah Siswa Tak Lulus Terbanyak Ada di Nusa Tenggara Timur.”  Lalu dibawah sub judul: Mayoritas NTT: “Dari presentase siswa yang tak lulus, Nusa Tenggara Timur kembali menjadi daerah dengan jumlah siswa tak lulus terbanyak, yakni 1.994 orang.  Menyusul Gorontalo, Papua, Papua Barat dan Kalimantan Tengah.”

Berita ini kemudian berlanjut di Kompas, Sabtu 26 Mei 2012 halaman 12: “Banyak Siswa Kurang Pahami Konteks, Kualitas Soal Bahasa Indonesia Tak Diturunkan”.  Di bawah sub judul: Kondisi NTT: “Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur, Esthon Foenay di Kupang, mengatakan, pemerintah daerah telah berusaha maksimal mengangkat prestasi kelulusan.  Namun secara nasional masih terendah, dengan angka kelulusan 94,50 persen”. “Tahun ini meningkat 0,7 persen.  Namun masih jauh dari propinsi lain,” katanya. Dari sisi guru tingkat SMP dan SMA, sebagian besar lulusan diploma.

Saling Lempar Tanggung Jawab
Pengumuman hasil UN (Ujian Nasional) ini kemudian dikaji lebih dalam di Kompas, Senin 28 Mei 2012 halaman 12: “Hasil UN Bukan Patokan, Ketidaklulusan Banyak karena Matematika”.  Hasil wawancara mendalam dengan pihak-pihak terkait dapat ditelisik dalam isi beritanya: “..Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Nusa Tenggara Timur (NTT) Clemens Meba mengungkapkan: Hampir 52 persen guru bukan lulusan sarjana.
 
Laboratorium dan perpustakaan sekolah hanya dimiliki 10 persen sekolah, 90 persen sekolah SMA/sederajat tak memiliki sama sekali.  Sarana dan prasarana sangat kurang.  Belum termasuk dukungan orang tua dan lingkungan sekitar yang rendah”.   “Persoalan ini dari tahun ke tahun tetap sama. Kami sudah berusa-ha, tetapi belum mengatasi keseluruhan karena kami keterbatasan anggaran,” kata Meba. Wakil Ketua DPRD NTT, Kasintus Ebu Tho menolak alasan keterbatasan anggaran.  “Masalah utama, mental dan perilaku pengelola dan pengambil kebijakan,” katanya.

Solusi
Sebenarnya upaya untuk mengatasi keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan    di daerah tertinggal sudah pernah dirumuskan oleh Depdiknas (sekarang Kemdikbud), yang dikenal sebagai program PAIKEM GEMBROT (Pendidikan Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan, serta Gembira dan Berbobot).  Melalui program ini, guru dilatih untuk memanfaatkan lingkungan sekitar  dan local wisdom guna menghasilkan bahan pengajaran yang berbasis keunggulan lokal. Masalahnya adalah guru hanya terpaku pada buku teks yang memerlukan praktikum di laboratorium atau kelengkapan perpustakaan yang memadai.  Mereka beranggapan, tanpa kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan, program apapun akan sulit direalisasikan. Akibatnya penataran program PAIKEM GEMBROT hanya berhenti sebagai penambah wawasan guru saja, tidak diaplikasikan di kelas.

Masalah Baru Menghadang
Ada dua hal yang mengguncang dunia pendidikan swasta di Indonesia awal tahun ini.  Pertama, Peraturan Bersama 5 Menteri (Peraturan Mendiknas No. 05/X/PB/2011, Peraturan Menpan No.SPB/03/M.PAN-RB/10/2011, Peraturan Mendagri No. 48 Tahun 2011, Peraturan Menkeu No. 158/PMK.01/2011 dan Peraturan Menag No. 11 Tahun 2011), tentang Penataan dan Pemerataan Guru (PNS), yang ditetapkan tanggal 3 Oktober 2011 (Berita Negara RI No. 610 Tahun 2011).  Kedua, Peraturan Mendikbud (Permendikbud) No. 60 Tahun 2011 tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan pada SD dan SMP, yang ditetapkan tanggal 30 Desember 2011 (Berita Negara RI No. 19 Tahun 2012).

Renstra (Rencana Strategis) untuk SD harus mengacu pada jumlah jam mengajar yang terkecil (1 jam pelajaran atau 1 jam tatap muka), yaitu mata pelajaran Mulok (Muatan Lokal).  Agar supaya guru pengampu Mulok dapat mencapai beban kerja 24 jam, maka dibutuhkan 24 kelas (24 x 1 jam = 24 jam).  Karena SD terdiri dari 6 jenjang (kelas 1 sampai kelas 6), jumlah ideal kelas paralel di SD adalah 24 kelas : 6 = 4 kelas paralel.

Renstra SMP, acuannya tetap sama, yaitu jumlah jam mengajar yang terkecil, yaitu 2 jam pelajaran (Pendi-dikan Agama, PKn, SBK, Penjaskes, TIK, dan Mulok).  Agar guru-guru yang disebut itu dapat mencapai jumlah 24 jam tatap muka, maka diperlukan 12 kelas (24 jam : 2 jam = 12 kelas). 

Untuk Renstra SMA, acuannya tetap sama yaitu jumlah jam mengajar terkecil yaitu 1 jam pelajaran di kelas 10 (Mata Pelajaran Sejarah), dengan syarat SMA itu mempunyai 2 kelas paralel IPA dan 2 kelas paralel IPS dengan jumlah siswa minimal 20 orang per kelas (kurang dari 20 siswa, maka kelas IPA/IPS/Bahasa tidak bisa dibuka) (lihat SKB 5 Menteri).

Mengapa jumlah jam tatap muka dan jumlah kelas ini penting? Karena tunjangan sertifikasi hanya akan diberikan kepada guru yang mengajar 24 jam tatap muka (jumlah jam sebagai guru piket, wali kelas, guru remedial, dan guru ekskul tidak lagi diperhitungkan).   Efeknya, kalau jumlah jam tatap muka kurang dari 24 jam, bukan saja tunjangan sertifikasi akan dicabut tetapi hal yang paling krusial adalah guru yang bersangkutan harus dipindahkan menjadi tenaga non kependidikan (menjadi TU, petugas perpustakaan, atau petugas humas sekolah) atau kalau pihak yayasan cukup kreatif, guru yang bersangkutan dapat ditempatkan sebagai tenaga marketing sekolah, dengan harapan di tahun yang akan datang, jumlah murid baru akan bertambah (jumlah kelas akan bertambah) sehingga akan banyak guru yang tertolong memenuhi prasyarat mengajar 24 jam tatap muka.

Yang menghebohkan adalah Peraturan Mendikbud (Permendikbud) No. 60 Tahun 2011 tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan pada SD dan SMP yang membuat yayasan harus kreatif menggali sumber dananya sendiri.  Jadi, peme-rintah dengan sengaja memperkenalkan para-digma baru: pungutan itu bukan untuk menu-tupi biaya operasional sekolah dan upaya me-ningkatkan kualitas pendidikan tetapi pungutan dianggap sebagai beban masyarakat, maka segala pungutan itu harus dihapuskan. Pihak Yayasan harus mempunyai sumber dana sendiri untuk menutup biaya operasional sekolah.

Tentu saja pemerintah memberi kelonggaran pada sekolah penerima dana BOS untuk tetap memungut uang sekolah, tapi hal itu diatur secara ketat sebagaimana termaktub dalam ketentuan Pasal 5 ayat 2 d.

Dengan kata lain, sekolah penerima dana BOS dapat tetap melakukan pungutan, asalkan azas transparansi dan akuntabilitas ditegakkan. Selama ini banyak Yayasan mengedepankan manajemen tertutup, yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat 2  ini.

Sambil menunggu judicial review ke MA (Mahkamah Agung) tentang SKB 5 Menteri dan Permendikbud No. 60 Tahun 2011 ini, ada baiknya Yayasan mengingat pengabaian pemerintah tentang Putusan MA No 2596 K/Pdt/2008 yang melarang pemerintah menyelenggarakan ujian nasional.  Kenyataannya, meskipun ada putusan MA itu tetapi agenda Ujian Nasionalnya jalan terus.

Berdasarkan pengalaman penulis menatar para guru di sekolah-sekolah NTT, penulis mengusulkan penerapan kurikulum digital yang saat ini dikenal sebagai e-learning, sehingga terbentuk masyarakat guru pembelajar, yaitu guru-guru yang terus mengasah pengetahuan dan memperdalam wawasannya sehingga kualitas pengajarannya akan makin membaik. Melalui kurikulum digital, guru bisa kreatif menggunakan gambar, video, audio, teks dan animasi sehingga pembelajaran menjadi lebih menarik.  Proses komunikasi guru dan murid menjadi lebih mudah karena sifatnya yang interaktif.

Kurikulum digital ini disusun dalam Program Excell dengan 23 langkah untuk mendisain kurikulum yang berbasis keunggulan lokal. Karena disusun oleh guru sendiri, maka sentuhan lokalitas dan kontekstualnya akan terasa “membumi” (guru bukan sekadar administrator, tetapi konseptor, inisiator, dan perencana pendidikan, sehingga hakekat pendidikan tidak disempitkan menjadi hanya sekadar masalah persekolahan).*
Sumber:

Pos Kupang - Senin, 25 Juni 2012 | 16:34 WITA
http://kupang.tribunnews.com/2012/06/25/pendidikan-di-ntt-kapan-berubah

0 komentar:

Post a Comment